Konsep Nasikh dan Mansukh
“Tidaklah Kami hapus (naskh) suatu ayat atau melupakannya,
kecuali Kami datangkan yang lebih baik dari sejenisnya. Tidaklah engkau tahu
bahwa sesungguhnya Allah kuasa atas segala sesuatu”. (QS. 2;106)2
Muqaddimah
Al Qur’an adalah kitab petunjuk sekaligus
kitab sejarah, dikatakan kitab petunjuk karena di dalamnya terdapat firman
Allah Yang Maha Kuasa sebagai sumber tertinggi bagi keyakinan ummat Islam,
inspirasi dalam menjalani kehidupan menurut jalan yang diperintahkan Allah,
sebagaimana Nabi Muhammad datang untuk memberantas kedlaliman, kekufuran dan
kebodohan ummat kala itu. Artinya Allah
menurunkah al Qur’an dengan sebenar benarnya dan turun dengan membawa
kebenaran (al Haq), dan mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa berita gembira
dan peringatan bagi seluruh manusia.3
Disebut kitab sejarah karena di dalamnya
terdapat runtutan peristiwa peristiwa Nabi Nabi terdahulu sebagai pelajaran
bagi umat sesudahnya. Disamping sebagai respon ataupun jawaban dari realitas
dan problematika keummatan yang terjadi saat itu, dan Allah lah sebenarnya pembuat sejarah itu.
Ibnu Hisyam sendiri menyebutkan bahwa al
Qur’an diwahyukan dalam dua dekade terakhir dari usia kenabian, sejak tahun 610
sampai 632. Karena beliau berhadapan dengan sebuah zaman, maka al Qur’an juga
menghadapi lingkungan historikal yang spesifik.4
Belakangan sejumlah ahli tafsir memberikan
banyak informasi mengenai turunnya ayat ayat partikular (asbâbun Nuzul) baik
yang berkenaan dengan perdebatan akidah di Mekkah ataupun penyesuaian Nabi
terhadap problema politik dan sosial di Madinah. Petunjuk kongkret mengenai
permasalah ritual, moral, legal dan politik juga menjadi bagian dari pembahasan
dalam turunnya al Qur’an.
Di pandang sebagai kitab petunjuk dan dokumen
sejarah tentunya al Qur’an menjadi lebih terbuka dari berbagai komentar,
penafsiran dan kritisisme terhadap al Qur’an.
Hal ini bukanlah dianggap sebagai sebuah
kelemahan, tapi lebih menampilkan bahwa al Qur’an itu dinamis dan lentur
terhadap perubahan waktu dapat dibuktikan (salihun li kulli makanin wa zamanin
Pertanyaannya sekarang, apakah Nasikh dan
Mansukh juga merupakan sebuah konsep al Qur’an dalam menjawab perubahan zaman
waktu itu, sebagaimana i’jâzul Qur’an yang belakangan ini menjadi mainstrem
kemu’jizatan al Quran dihadapan para ilmuan.
Pertanyaan ini akan terjawab jika kita mau
mengerti dan paham terhadap persoalan yang dihadapi, tanpa memandang al Qur’an
itu sebagai kitab suci yang tidak bisa dikritik. Karena bagaimanapun al Qur’an
ibarat lautan luas dengan berjuta juta mutiara yang belum tersingkap. Sehingga al Qur’an sendiripun membuka lebar
lebar berbagai penafsiran ayat yang dikandungnya. Oleh karenanya batas
tanggung jawab manusia bersifat problematis. Prospek pencapaian pahala yang
abadi tidak dapat dipastikan menurut akal.
Allah Maha Adil akan setiap perbuatan hamba
Nya.
Pengertian
Nasikh dan Mansukh
Sebelum beranjak lebih jauh mengenai topik
ini, ada baiknya kita terlusuri terlebih dahulu definisi para ulama tentang
nasikh dan mansukh. Karena bagaimanapun sebuah persoalan tidak akan tersentuh
dengan baik walau tidak bisa dikatakan sempurna bila mengetahui kontek bahasa
dari pengertian diatas.
Secara etimologi nasikh berasal dari kata
(naskh) menghapus atau (izalah) membuang (izalatu al sai’i wa i’dâmuhu) yang
berarti menghapus atau membuang suatu yang ada sebelumnya kemudian
menguatkannya dengan yang baru. Sebagaimana firman Allah “Allah menghilangkan
apa yang dimasukkan oleh syaitan itu dan Allah menguatkan ayat ayat-Nya” (QS.
22 ; 59). Itu pengertian yang pertama.
Kedua, naskh berasal dari kata (Baddala)
mengganti, artinya sesuatu yang ada sebelumnya diganti dengan yang baru. Firman
Allah “Dan apabila Kami letakkan sesuatu ayat ditempat yang lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkannya” (QS. 16;
101) Seperti halnya terangnya siang digantikan oleh gelapnya malam yang
keduanya berbeda tapi tidak bisa dipisahkan. Karena yang melakukan hal itu
adalah yang Satu, Allah Yang Maha Kuasa (Huwa an Nasikh)5.
Secara terminologi, Naskh berarti Mengganti
hukum syar’i yang ada sebelumnya dengan hukum syar’i baru (Raf’u al hukmi
syar’i bi dalîlin syar’iin), yang dimaksud
mengganti hukum syar’i adalah hilangnya beban atau kesulitan manusia
terhadap hukum tadi dan memberikan kemudahan dalam pelaksanaannya. Baik secara
hukum ataupun bacaan (tilawah).6 Seperti halnya kewajiban puasa Asyurâ diganti
dengan kewajiban puasa Ramadlan, perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis
kepada Ka’bah di Makkatul Mukarramah dan sebagainya.
Sebagaimana juga disebutkan oleh Dr. Mahami
Munir dalam bukunya “Tahafut dirasat al mu’asirah fi daula wal mujtama’”
tentang penafsiran ayat “manansyah min ayatin au nunsiha….” Ada dua cara;
Pertama, Bahwa naskh itu berarti ‘mengganti’
seperti yang terdapat dalam surat an Nahl 101, atau jika kita datangkan ayat
dengan mengganti ayat sebelumnya, maka
yang muncul kemudian adalah nash tersebut lebih menitikberatkan pada hal
kebaikan (khairiyah) dari yang sebelumnya. Akan tapi cara ini dianggap lemah
karena menjadikan kebaikan (khairiyah)
berbaur dengan nash yang lain. Tetapi yang dimaksud itu adalah kebaikan
itu untuk kita sebagai pelaksana bukan untuk kebaikan ayat tersebut. Sebagaimana
penghapusan hukum pada nash nash tadi.
Disamping penghapusan itu semata mata untuk
meringankan dan mempermudah kesulitan penerapan atau sebaliknya. Contoh
puasa `Asyura dimana kelihatan mudah dan ringan diganti dengan puasa Ramadlan
yang terkesan berat, walaupun berat tapi pahalanya lebih besar dari pahala
puasa sebelumnya. Maka kebaikan (khairiyah) bukan pada nash itu tetapi pada
substansi hukum yang dikandungnya. Seringkali kebaikan itu berupa kemudahan
dan bisa berupa pahala.
Kedua, bahwa nash yang dimaksud ayat diatas
adalah ‘penghapusan’ muatan hukumnya bukan dari segi bacaan. Ulama pun
sependapat tentang itu, mereka mengatakan ‘seluruh ayat al Qur’an yang qath’i
dapat ditetapkan dan dibuktikan hanya dengan nash qath’i pula. Sedangkan nash
yang tidak bisa dibuktikan denganya tidak bisa dinamakan al Qur’an. Az Zarqoni
sendiri dalam memandang terminologi ini memberikan beberapa poin penting;
1. Ungkapan penghapusan hukum tidak bisa terjadi kecuali
dengan dua alasan:
a. Dalil yang menggatikannya harus berjarak dan
pertempo terhadap dalil yang diganti.
b. Diantara dua dalil itu harus terjadi
pertentangan substansi dimana keduanya tidak dapat dipertemukan. Maka bila
tidak terjadi tidak bisa disebut naskh.
2. Definisi itu naskh tidak harus merujuk pada hukum yang
terkandung dalam ayat tersebut.
3. Naskh juga terjadi pada al Qur’an dan Sunnah.
4. Bahwa definisi pada kalimat “penghapusan hukum” (naskhul
hukm) bagian dari idafah masdariyah yang berarti hanya Allahlah yang melakukan
itu.
Historisitas
Nasikh dan Mansukh
Hakikat empiris yang terdapat dalam nash
menegaskan bahwa al Qur’an diturunkah secara berangsur angsur kurang lebih
duapuluh tiga tahun tak luput dari zaman. Jika dikatakan bahwa setiap nash
turun karena sebab sebab kehidupan yang melatarbelakanginya (asbabun nuzul)
hal ini membuktikan bahwa al Qur’an ada hubungan intim antara teks dan realita.
Toh walaupun ada sebagian ulama yang mengklaim bahwa teks itu abadi mengatasi
waktu dan lepas dari konteks tempat dan masa berlakunya merupakan persoalan
yang masih perlu diperdebatkan.7
Pangkal persoalan ini adalah karena generasi
kita tidak percaya pada historisitas, ahistorisitas nash dan ahistorisitas
berbagai realitas, walaupun teks itu sendiri yang membuka pintu historisitas.
Nasikh dan mansukh dalam al Qur’an dan Sunnah adalah catatan yang pernah
dilihat sebagian peneliti yang menulis historisitas nash, entah apa alasan mereka
sehingga mengenyampingkan hal itu.
Sudah dikatakan bahwa nash lahir dalam waktu
tertentu dan dia membawa hukum yang harus sesuai dengan tuntutan zamannya.
Sehingga kemudian ummat Islam mengalami kesulitan bersama berlalunya waktu
jika hukum itu masih tetap berlaku.
Nah, oleh karena persoalan tersebut, disinilah
fungsi naskh itu, yang berarti mencabut dan mengaktifkan perubahan hukum itu.
Sebagai contoh, dahulu masa iddah perempuan yang suaminya meninggal adalah satu
tahun. “Dan orang yang meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan istri,
hendaklah berwasiat untuk istri istrinya, yaitu memberi nafkah selama setahun
lamanya tanpa meninggal rumah... (QS. 2;240)8. Hal ini merupakan kontinuitas
dan tradisi dari masyarakat sebelum Islam.
Oleh karena itu kemudian kaum perempuan
menjadi ketakutan dan khawatir akan terjadi fitnah jika tetap dibiarkan hukum
itu berlaku. Tapi yang lebih penting dari itu adalah kebutuhan untuk
memperbanyak keturunan dalam meningkatkan jumlah ummat Islam yang pada ssat itu
masih sedikit. Maka demi tujuan itu hukum itu harus dihapus dan dimunculkan
hukum baru yang sesuai dengan tuntutan baru tadi. “Orang yang ditunggal mati
dari kalian dan menjadikan mereka istri
istri, maka mereka menunggu selama empat bulan sepulu hari” (QS. 2 ; 234)9
Al Alusi sendiri berpendapat dalam buku “Ruhul
Ma’ani” bahwa naskh harus mengandung mashlahah yang tidak dimiliki oleh hukum
sebelumnya. Karena hukum dibuat demi kemashlahatan dan pergantiannya juga
tunduk sesuai dengan konteks waktu. Kalimat “pergantiannya tunduk pada konteks waktu”
merupakan bukti historisitas nash yang hingga sekarang masih tolak oleh
sebagian ulama.
Al Wahdi berpendapat “adalah tidak boleh,
memahami penafsiran ayat tanpa berlandaskan konteks sejarahnya dan penjelasan
turunnya. Sejarah dan penjelasan turunnya ayat adalah hal paling otentik dalam
masalah historisitas walaupun bukan tujuan final. Bahwa selama berpegang teguh
pada literature nash (harfiyatul nusush) adalah suatu bentuk pengubahan teks
yang jelas menampakkan kesulitannya. Karena sebagaimana disebutkan di atas
bahwa nash memiliki kondisi yang melingkunginya. Mencerabut nash dari kondisi
dan interaksi yang melingkarinya akan menyebabkan nash kehilangan kemungkinan
untuk dipahami secara sempurna.
Karena bagaimanapun salah satu funsi naskh
adalah konsep step by step dalam proses perubahan dalam berinteraksi dengan
realitas. Maka perubahan yang terjadi bukan pada Dzat Allah tapi hukum yang
berlaku pada saat itu. Karenanya proses perubahan ataupun menghapusan nash
(naskh) sebagai alasan mengatakan al Qur’an bukan kitab yang abadi dan permanen
sepanjang masa.
Sikap Ulama di
depan Nasikh dan Mansukh ;
Sesunguhnya dinamika teks dalam ruang dan
waktunya adalah dinamika yang hidup dalam kehidupan, sedangkan mengungkap
makna yang tersirat dalam teks bukan berarti merubah makna yang muncul, justru
sebagai medan untuk mencapai kebenaran. Begitu juga dalam menyikapi konsep
naskh dan mansukh dalam al Qur’an, tidak jarang ada ulama yang membenarkan dan
ada yang menolak. Masing masing punya alasan yang masuk akal dan bisa
dipertanggungjawabkan. Yang jelas semuanya itu masih dalam kerangka Ijtihad
mencari penafsiran yang benar.
Ulama pertama yang menolak adanya naskh dan
mansukh dalam al Qur’an adalah Abu Muslim Al Ashfahani10. Alasan Abu Muslim al Ashfahani menolak adanya naskh dan
mansukh adalah bahwa hukum (syari’at) agama terdahulu yang telah habis masa
berlakunya masih terkait dengan datangnya hukum hukum yang terdapat dalam
syari’at Islam. Termasuk juga sebaliknya, hukum hukum Islam yang habis masa
berlakunya terkait dengan munculnya hukum baru bertentangan dengan hukum Islam
sebelumnya.
Jadi
disana tidak terjadi penghapusan dan pembatalan nash, masih ada keterkaitan
diantara ajaran tersebut, maka yang terjadi adalah pengkhususan hukum hukum
yang umum dan tidak ada pertentangan. Karena naskh cendrung memandang ada
pertentangan nash dengan nash yang lain. Padahal Allah sendiri berkata “Dalam
al Qur’an tidak ada yang bathil baik dari depan atupun dari belakangnya, yang
diturunkan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Terpuji” (QS. 41;42). Artinya nash
nash yang terdapat dalam Al Qur’an tidak ada yang bertentangan apalagi
kebathilan, sebab kebathilan itu suatu yang mustahil bagi Allah.
Yang terjadi sebenarnya adalah spesifikasi
hukum (takhshis) yang sebelumnya bersifat umum (âmm). Spesifikasi hukum ini
muncul sesuai dengan konteks yang diperlukan saat itu (takhsisul Amm)11.
Pendapat ini kemudian diambil oleh Iman Fakhrur al Razi ditambah dengan dalil
“Tidak seorangpun yang dapat merobah kalimat kalimat Nya, dan kamu tidak akan
dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya” (QS. 18;27
Apalagi bila melihat turunnya ayat “Tidaklah
Kami hapus (naskh) suatu ayat atau melupakannya, kecuali Kami datangkan yang
lebih baik dari sejenisnya. Tidaklah engkau tahu bahwa sesungguhnya Allah kuasa
atas segala sesuatu”. (QS. 2;106). Dimana saat itu orang orang Yahudi mengejek
nabi termasuk ajarannya. Mereka bilang “Tidakkah kalian lihat, Muhammad
memerintahkan suatu perkara kemudian melarangnya. Hari dia bilang ‘ya’ besok
pagi bilang ‘tidak’”. Maka turunlah ayat diatas tadi.12
Imam Assayuti sendiri menjelaskan bahwa
turunnya ayat ini untuk menghibur Nabi disaat menerima wahyu. Wahyu yang
diterima malam hari kemudian lupa pada esok harinya. Belakangan penjelasn ini
dibantah oleh Muhammad Abduh, “Mustahil, ini pernyataan bohong belaka, nama
mungkin Nabi lupa, sementara beliau adalah seorang Rasul pembawa risalah Islam”
tidak seperti dugaan orang kafir bahwa Nabi adalah gila. “Mereka berkata, “Hai
orang yang diturunkah Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar benar gila”(QS.
15;7).
Muhammad Abduh sendiri mengatakan tidak adanya
naskh dan mansukh dalam al Qur’an, seperti yang ia tulis kitabnya (Tafsir al
Manar). Abduh mengatakan bahwa naskh dan mansukh adalah mu’jizat sebagai
jawaban bagi orang Yahudi yang lebih mengutamakan mu’jizat materi seperti
mu’jizat Nabi Musa dan Isa13.(....Kami ganti dengan yang lebih baik dari
sejenisnya...”)
Fenomena kontradiktif ada nash nash al Qur’an
di depan pandangan ulama muta’akhirin adalah wajar, namun jika ternyata
kemudian muncul pandapat yang mengatakan bahwa sebagian dalil bertentangan
dengan yang lain, hal itu semata mata karena sempitnya pemahaman mujtahid dan
lemahnya pengertahuan mereka, disamping kurang begitu mendalami persoalan yang
dihadapi. Padahal yang terjadi adalah tertentangan secara dhahiri bukan haqiqi.
14
Yusuf Qardlawi sendiri mengatakan, bahwa naskh
boleh saja terjadi bila ada dalil yang bertentangan tapi dalil berikutnya harus
jelas dan qath’i dan dapat menenangkan hati.
Penyebab naskh sendiri adalah kontektualisasi
dari petunjuk Allah terhadap penerapan syari’ah yang berlangsung secara
bertahap.15
Sebagian besar ulama mengatakan bahwa konsep
naskh ada dalam al Qur’an tidak bisa dibantah, sebagai bukti bahwa konsep itu
mejadikan al Qur’an memperhatikan kondisi ummat, baik dari segi mashlahat
ataupun kebaikan pada saat itu. Terlebih lagi memberikan pembenaran bahwa al
Qur’an tersusun secara bertahap (tadarruji
Hikmah Nasikh
dan Mansukh
“Hikmah adalah mutiara yang hilang dari kaum
muslimin”, demikian juga dalam nasikh dan mansukh ada beberapa hikmah yang
terkandung didalamnya. Karena bagaimanapun juga setiap ciptaan ataupun
perubahan ada hikmah yang ingin disampaikan Allah. Diantara hikmah dapat
ditangkap dari konsep diatas adalah;
1. Bahwa manusia diciptakan dan diberi kebosanan terhadap
sesuatu yang sifatnya kontiniu dan tidak ada perubahan (status quo). Untuk itu
Allah selalu mengutus disetiap zaman dengan seorang pembaharu (mujaddid).
2. Membuka kemulyaan Nabi Muhammad dan ajarannya,
bahwa Islam menghimpun tiga ajaran samawi, sekaligus mengganti ajaran yang
tidak berlaku lagi pada zamannya.
3. Memberikan kemaslahatan bagi ummatnya. Seperti dengan
cara mengganti hukum yang terasa berat dengan hukum yang ringan, setidaknya
memberikan pahala yang lebih besar.
4. Memberikan kemudahan dalam mengaplikasikan hukum (disini
berlaku rahmat Allah Yang Maha Kuasa).
5. Bahwa penghapusan beberapa hukum disaat turunnya al
Qur’an adalah sebagai pelajaran bahwa setiap sesuatu yang besar selalu
melalui proses panjang.
6. Allah sebagaimana tertulis dalam al Qur’an, Dia tidak
pilih kasih terhadap orang melakukan zina, baik laki laki ataupun perempuan
harus dihukum. Seperti yang diriwayatkan Umar bin Khattab “Laki laki tua
ataupun perempuan tua jika mereka melakukan zina maka keduanya harus dirajam”
tapi kemudian dinaskh lafadznya (naskh tilawah) tapi hukumnya tetap berlaku
umum.
Khatimah
Barangkali itulah yang dapat penulis sampaikan
dalam menyikapi naskh dan mansukh dalam al Qur’an. Tentunya tulisan ini masih
banyak kekurangannya dan perlu pembenahan lagi. Tapi walaupun begitu, ini
adalah sebuah usaha mencari hikmah yang terkandung dalam al Qur’an. Karena
sesungguhnya yang terpenting dari itu adalah memahami al Qur’an secara benar
agar mutiara yang masih terpendam bisa terungkap, sehingga kita dapat mengambil
serta mengamalkannya dengan benar.
Daftar Pustaka
1. Abdul Muta’al Muhammad Jabiri “Naskh wal Mansukh baina
Istbat dan Nafyu”. Maktabah Wahbah kairo 1987.
2. Muhammad Abdul Adim Az Zarqoni “Manahilul Irfan fi Ulumil
Qur’an” Darul Ihya’ Kairo.
3. Musa Salim Lasiem “Al Lai’u fi Ulumil Qur’an” Darul
Ta’rif Kairo 1968
4. Jurnal Tazwirul Afkar Lakpesdam Edisi No. 9
Tahun 2000.
5. Dr. Yusuf Qardlawi “Kaifa Nata’amalu Ma’al
Qur’an” darul Syuruq Kairo Cetakan I. 1998.
6. Dr. Mahami Munir Muhammad Thahir Syawwaf
“Tahafut Dirasat Mu’asir fi Daula wal Mujtama’” Darul Syawwaf Jeddah KSA. 1995
7. Ali Hasan Aridh “Fathul Mannan fi Nash Qur’an”
Maktabah Kahoji Masr. Cetakan I. .
8. Dr. Abdul Karim Zaidan “Al Wajiz fi Usulil Fiqih” Darul
Salam Kairo.
Madinat Bu’ust, 29 Agustus 2000
1
Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi
Forum Studi Ilmu Ilmu Al Qur’an (FORDIAN), Wisma Nusantara, Kamis 30 Agustus
2001.
2
Al Qur’an Terjemah Departeman Agama
Indonesia.3 al Qur’an, al Isra’ 105.
4
Ibnu Hisyam “Sirah Nabawiyah” Dar Qalam Kairo.
Hal. 98
5
Dr. Mahami Munir Muhammad Thahir Syawwaf
“Tahafut al Dirasat al Mu’ashir fi Daula wal Mujtama’ “
6
Muhammad Abdul Qadir Az Zarqoni “ Manahilul
I’fan fi ulumil Qur’an” Darul Hayah Kairo, Hal. 176
7
Jurnal
Tazwirul Afkar Lakspesdam Edisi
No. 9 Tahun 2000
8
Al Qur’an terjemah Departemen Agama9 Ibid.10
Menurut ibnu Nadiem, Beliau adalah seorang ahli bahasa dan balaghah, disamping
sebagai filosof yang pandai berdebat. Beliau menulis kitab tafsir “Jami’ul
Ta’wil lil Hukmi Ta’wil” berdasarkan mazhab Mu’tazilah. 11 Musa Sahien
Lasien “al La’iu fi ulumil Qur’an” Darul Ta’rif 1996 Hal. 208
12
Abdul Muta’al Muhammad Jabiri “Naskh wal
Mansukh baina Istbat dan Nafyu”. Maktabah Wahbah Kairo 1987
13
Dr. Yusuf Qardhawi “Kaifa nata’amal ma’al
Qur’an” Darus Syuruq Kairo 1999. Hal. 227
14 Dr. Abdul Karim Zaidan “Al Wajiz fi Ulumil
Qur’an” Darus Salam Kairo Hal. 276 15 Dr. Yusuf Qardhawi “Kaifa nata’amal ma’al
Qur’an” Darus Syuruq Kairo 1999. Hal. 285
p