Merubah Warna Latar/Backgroun pada Blog

Bagi Anda yang ingin merubah penampilan blog supaya menghasilkan blog yang enak dilihat namun tidak membuat silau mata, ada baiknya mencoba tips yang akan saya sampaikan dibawah ini. Walaupun banyak sekali yang membahas tentang bagaimana cara merubah background blog namun sekali lagi saya ingatkan bahwa postingan ini sudah saya praktekan sehingga berbagai kesalahan sudah bisa diminimalisir hehehehe... Yuk kita mulai. 

1. Merubah Background Header Blog
Letaknya adalah paling atas, biasanya digunakan untuk meletakan judul blog, baik itu berupa tulisan atau sebuah banner. Cara merubahnya adalah :
Masuk Dashboard-->Tata Letak-->Edit html, cari tulisan #header-wrapper menggunakan CTRL+F ,saya contohkan hasilnya akan seperti ini.


#header-wrapper {
background:
#f4f4f4;

dan seterusnya........

Jika Anda ingin merubah warna dengan kode #000000 maka hasilnya akan seperti ini :

#header-wrapper {
background:#000000;
dan seterusnya........

Bila tidak menemukan tulisan background:#f4f4f4; Anda bisa menambahkannya sendiri  tulisan tersebut tepat dibawah #header-wrapper {
Apabila sudah sesuai silahkan simpan atau pratinjau terlebih dahulu.

2. Merubah Warna Background Body
Terletak paling dasar atau dibalik halaman posting. Cara merubahnya :

Masuk Dashboard-->Tata Letak-->Edit html, cari tulisan body { menggunakan CTRL+F ,saya contohkan hasilnya akan seperti ini.

body {
background:#000000;
dan seterusnya........

Silahkan Anda sesuaikan dengan kode warna yang diinginkan .apabila selesai klik simpan.


3. Merubah Warna Background Halaman Postingan / Main body
Terletak paling tengah dan dijadikan sebagai tempat posting. Cara merubahnya adalah :

Masuk Dashboard-->Tata Letak-->Edit html, cari tulisan #main-wrapper { menggunakan CTRL+F ,saya contohkan hasilnya akan seperti ini.

#main-wrapper {
background:#000000;
dan seterusnya........

Silahkan Anda sesuaikan dengan kode warna yang diinginkan, apabila selesai klik simpan.

4. Merubah Warna Background Sidebar
 Terletak disebelah halaman posting/main body, cara merubahnya adalah :


Masuk Dashboard-->Tata Letak-->Edit html, cari tulisan #sidebar-wrapper { menggunakan CTRL+F ,saya contohkan hasilnya akan seperti ini.

#sidebar-wrapper
background:#000000;
dan seterusnya....
 
 Silahkan Anda sesuaikan dengan kode warna yang diinginkan, apabila selesai klik simpan.

5. Merubah Warna Background Footer 
Terletak berada paling bawah halaman blog,cara merubahnya adalah :


Masuk Dashboard-->Tata Letak-->Edit html, cari tulisan #footer { menggunakan CTRL+F ,saya contohkan hasilnya akan seperti ini.

#footer {
background:#000000;
dan seterusnya...

Silahkan Anda sesuaikan dengan kode warna yang diinginkan, apabila selesai klik simpan.

Ada beberpa template yang  menggunakan kode warna css hanya dengan tiga digit bukan enam digit, nah terus bagaimana solusinya? Dibawah ini saya tuliskan beberapa kode warna html yang biasa dipakai oleh kebanyakan orang.

Cara Merubah Warna Backgroun

Anda mau merubah / mengganti background header, footer, dan body dengan warna yang lain??Kadang kita bosan juga liat tmpilan blog yang gitu gitu saja. Kalau itu yang anda cari, sebenarnya caranya mudah sekali.simak postingan ini sampai tuntas : Langkah cara merubah warna background pada blog : 1. Masuk ke akun blogger 2. Dashboard 3. Tata Letak 4. Edit HTML ==> cari kode di bawah ini dengan menggunakan ctrl + F : 1. Merubah warna background halaman postingan / main body pada blog Cari kode: #main-wrapper { #main-wrapper { background:#000000; 2. Merubah warna background body pada blog Cari kode: body { body { background:#000000; 3. Cara merubah warna background header pada blog Cari kode: #header-wrapper #header-wrapper { background:#000000; 4. Merubah warna background sidebar di blog Cari kode: #sidebar-wrapper #sidebar-wrapper background:#000000; 5. Merubah warna background footer di blog Cari kode: #footer { #footer { background:#000000; Keterangan : Ganti kode warna #000000 dengan warna yang anda sukai. Untuk anda yang ingin mengganti warna background pada blog dan belum hafal kode warnanya, silahkan lihat kode-kode warna HTMLnya disini.

Konsep Nasikh dan Mansukh


Konsep Nasikh dan Mansukh
 Tidaklah Kami hapus (naskh) suatu ayat atau melupakannya, kecuali Kami datangkan yang lebih baik dari sejenisnya. Tidaklah engkau tahu bahwa sesungguhnya Allah kuasa atas segala sesuatu”. (QS. 2;106)2
Muqaddimah
Al Qur’an adalah kitab petunjuk sekaligus kitab sejarah, dikatakan kitab petunjuk karena di dalamnya terdapat firman Allah Yang Maha Kuasa sebagai sumber tertinggi bagi keyakinan ummat Islam, inspirasi dalam menjalani kehidupan menurut jalan yang diperintahkan Allah, sebagaimana Nabi Muhammad datang untuk memberantas ke­dla­liman, kekufuran dan kebodohan ummat kala itu.  Artinya Allah menurunkah al Qur’an de­­ngan sebenar benarnya dan turun dengan membawa kebenaran (al Haq), dan mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa berita gembira dan peringatan bagi seluruh manusia.3
Disebut kitab sejarah karena di dalamnya terdapat runtutan peristiwa peristiwa Nabi Nabi terdahulu sebagai pelajaran bagi umat sesudahnya. Disamping sebagai respon ataupun jawaban dari realitas dan problematika keummatan yang terjadi saat itu, dan Allah lah sebenarnya  pembuat sejarah itu.

Ibnu Hisyam sendiri menyebutkan bahwa al Qur’an diwahyukan dalam dua dekade terakhir dari usia kenabian, sejak tahun 610 sampai 632. Karena beliau berhadapan dengan sebuah zaman, maka al Qur’an juga menghadapi lingkungan historikal yang spesifik.4
Belakangan sejumlah ahli tafsir memberikan banyak informasi mengenai turunnya ayat ayat partikular (asbâbun Nuzul) baik yang berkenaan dengan perdebatan akidah di Mekkah ataupun penyesuaian Nabi terhadap problema politik dan sosial di Madinah. Petunjuk kongkret mengenai permasalah ritual, moral, legal dan politik juga menjadi bagian dari pembahasan dalam turunnya al Qur’an.
Di pandang sebagai kitab petunjuk dan dokumen sejarah tentunya al Qur’an menjadi lebih terbuka dari berbagai komentar, penafsiran dan kritisisme terhadap al Qur’an.

Hal ini bukanlah dianggap sebagai sebuah kelemahan, tapi lebih menampilkan bahwa al Qur’an itu dinamis dan lentur terhadap perubahan waktu dapat dibuktikan (salihun li kulli makanin wa zamanin
Pertanyaannya sekarang, apakah Nasikh dan Mansukh juga merupakan sebuah konsep al Qur’an dalam menjawab perubahan zaman waktu itu, sebagaimana i’jâzul Qur’an yang belakangan ini menjadi mainstrem kemu’jizatan al Quran dihadapan para ilmuan.
Pertanyaan ini akan terjawab jika kita mau mengerti dan paham terhadap per­soalan yang dihadapi, tanpa memandang al Qur’an itu sebagai kitab suci yang tidak bisa dikritik. Karena bagaimanapun al Qur’an ibarat lautan luas dengan berjuta juta mutiara yang belum tersingkap.  Sehingga al Qur’an sendiripun membuka lebar lebar berbagai pe­nafsiran ayat yang dikandungnya. Oleh karenanya batas tanggung jawab manusia bersifat problematis. Prospek pencapaian pahala yang abadi tidak dapat dipastikan menurut akal.
Allah Maha Adil akan setiap perbuatan hamba Nya.
Pengertian Nasikh dan Mansukh
Sebelum beranjak lebih jauh mengenai topik ini, ada baiknya kita terlusuri terlebih dahulu definisi para ulama tentang nasikh dan mansukh. Karena bagaimanapun sebuah persoalan tidak akan tersentuh dengan baik walau tidak bisa dikatakan sempurna bila mengetahui kontek bahasa dari pengertian diatas.
Secara etimologi nasikh berasal dari kata (naskh) menghapus atau (izalah) mem­buang (izalatu al sai’i wa i’dâmuhu) yang berarti menghapus atau membuang suatu yang ada sebelumnya kemudian menguatkannya dengan yang baru. Sebagaimana firman Allah “Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu dan Allah menguatkan ayat ayat-Nya” (QS. 22 ; 59). Itu pengertian yang pertama.
Kedua, naskh berasal dari kata (Baddala) mengganti, artinya sesuatu yang ada sebelumnya diganti dengan yang baru. Firman Allah “Dan apabila Kami letakkan sesuatu ayat ditempat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturun­kannya” (QS. 16; 101) Seperti halnya terangnya siang digantikan oleh gelapnya malam yang keduanya berbeda tapi tidak bisa dipisahkan. Karena yang melakukan hal itu adalah yang Satu, Allah Yang Maha Kuasa (Huwa an Nasikh)5.
Secara terminologi, Naskh berarti Mengganti hukum syar’i yang ada sebelumnya de­ngan hukum syar’i baru (Raf’u al hukmi syar’i bi dalîlin syar’iin), yang dimaksud  meng­ganti hukum syar’i adalah hilangnya beban atau kesulitan manusia terhadap hukum tadi dan memberikan kemudahan dalam pelaksanaannya. Baik secara hukum ataupun bacaan (tilawah).6 Seperti halnya kewajiban puasa Asyurâ diganti dengan kewajiban puasa Ra­madlan, perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis kepada Ka’bah di Makkatul Mukar­ramah dan sebagainya.
Sebagaimana juga disebutkan oleh Dr. Mahami Munir dalam bukunya “Tahafut dirasat al mu’asirah fi daula wal mujtama’” tentang penafsiran ayat “manansyah min ayatin au nunsiha….” Ada dua cara;
Pertama, Bahwa naskh itu berarti ‘mengganti’ seperti yang terdapat dalam surat an Nahl 101, atau jika kita datangkan ayat dengan mengganti ayat sebelumnya, maka  yang muncul kemudian adalah nash tersebut lebih menitikberatkan pada hal kebaikan (khai­riyah) dari yang sebelumnya. Akan tapi cara ini dianggap lemah karena menjadikan ke­baikan (khairiyah)  berbaur dengan nash yang lain. Tetapi yang dimaksud itu adalah kebai­kan itu untuk kita sebagai pelaksana bukan untuk kebaikan ayat tersebut. Seba­gaimana penghapusan hukum pada nash nash tadi.
Disamping penghapusan itu semata mata untuk meringankan dan mem­per­mudah ke­sulitan penerapan atau sebaliknya. Contoh puasa `Asyura dimana kelihatan mudah dan ri­ngan diganti dengan puasa Ramadlan yang terkesan berat, walaupun berat tapi pahalanya lebih besar dari pahala puasa sebelumnya. Maka kebaikan (khairiyah) bukan pada nash itu te­tapi pada substansi hukum yang dikandungnya. Seringkali kebaikan itu berupa kemu­da­han dan bisa berupa pahala.
Kedua, bahwa nash yang dimaksud ayat diatas adalah ‘penghapusan’ muatan hu­kumnya bukan dari segi bacaan. Ulama pun sependapat tentang itu, mereka mengatakan ‘seluruh ayat al Qur’an yang qath’i dapat ditetapkan dan dibuktikan hanya dengan nash qath’i pula. Sedangkan nash yang tidak bisa dibuktikan denganya tidak bisa di­namakan al Qur’an. Az Zarqoni sendiri dalam memandang terminologi ini mem­be­rikan beberapa poin penting;
1.         Ungkapan penghapusan hukum tidak bisa terjadi kecuali dengan dua alasan:
a.         Dalil yang menggatikannya harus berjarak dan pertempo terhadap dalil yang diganti.
b.         Diantara dua dalil itu harus terjadi pertentangan substansi dimana keduanya tidak dapat dipertemukan. Maka bila tidak terjadi tidak bisa disebut naskh.
2.         Definisi itu naskh tidak harus merujuk pada hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
3.         Naskh juga terjadi pada al Qur’an dan Sunnah.
4.         Bahwa definisi pada kalimat “penghapusan hukum” (naskhul hukm)  bagian dari idafah masdariyah  yang berarti hanya Allahlah yang melakukan itu.
Historisitas Nasikh dan Mansukh
Hakikat empiris yang terdapat dalam nash menegaskan bahwa al Qur’an ditu­runkah secara berangsur angsur kurang lebih duapuluh tiga tahun tak luput dari zaman. Jika dikatakan bahwa setiap nash turun karena sebab sebab kehidupan yang mela­tar­belakanginya (asbabun nuzul) hal ini membuktikan bahwa al Qur’an ada hubungan intim antara teks dan realita. Toh walaupun ada sebagian ulama yang mengklaim bahwa teks itu abadi mengatasi waktu dan lepas dari konteks tempat dan masa berlakunya merupakan persoalan yang masih perlu diperdebatkan.7
Pangkal persoalan ini adalah karena generasi kita tidak percaya pada historisitas, ahistorisitas nash dan ahistorisitas berbagai realitas, walaupun teks itu sendiri yang mem­buka pintu historisitas. Nasikh dan mansukh dalam al Qur’an dan Sunnah adalah catatan yang pernah dilihat sebagian peneliti yang menulis historisitas nash, entah apa alasan me­reka sehingga mengenyampingkan hal itu.
Sudah dikatakan bahwa nash lahir dalam waktu tertentu dan dia membawa hu­kum yang harus sesuai dengan tuntutan zamannya. Sehingga kemudian ummat Islam me­ngalami kesulitan bersama berlalunya waktu jika hukum itu masih tetap berlaku.
Nah, oleh karena persoalan tersebut, disinilah fungsi naskh itu, yang berarti mencabut dan meng­aktifkan perubahan hukum itu.
Sebagai contoh, dahulu masa iddah  perempuan yang suaminya meninggal adalah satu tahun. “Dan orang yang meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri istrinya, yaitu memberi nafkah selama setahun lamanya tanpa meninggal rumah... (QS. 2;240)8. Hal ini merupakan kontinuitas dan tradisi dari masyarakat sebelum Islam.
Oleh karena itu kemudian kaum perempuan menjadi ketakutan dan khawatir akan terjadi fitnah jika tetap dibiarkan hukum itu berlaku. Tapi yang lebih pen­ting dari itu adalah kebutuhan untuk memperbanyak keturunan dalam meningkatkan jumlah ummat Islam yang pada ssat itu masih sedikit. Maka demi tujuan itu hukum itu harus dihapus dan dimunculkan hukum baru yang sesuai dengan tuntutan baru tadi. “Orang yang ditunggal mati dari kalian  dan menjadikan mereka istri istri, maka mereka menunggu selama empat bulan sepulu hari” (QS. 2 ; 234)9
Al Alusi sendiri berpendapat dalam buku “Ruhul Ma’ani” bahwa naskh harus mengandung mashlahah yang tidak dimiliki oleh hukum sebelumnya. Karena hukum di­buat demi kemashlahatan dan pergantiannya juga tunduk sesuai dengan konteks waktu. Kalimat “pergantiannya tunduk pada konteks waktu” merupakan bukti historisitas nash yang hingga sekarang masih tolak oleh sebagian ulama.
Al Wahdi berpendapat “adalah tidak boleh, memahami penafsiran ayat tanpa ber­landaskan konteks sejarahnya dan penjelasan turunnya. Sejarah dan penjelasan turunnya ayat adalah hal paling otentik dalam masalah historisitas walaupun bukan tujuan final. Bahwa selama berpegang teguh pada literature nash (harfiyatul nusush) adalah suatu bentuk pengubahan teks yang jelas menampakkan kesulitannya. Karena sebagaimana disebutkan di atas bahwa nash memiliki kondisi yang melingkunginya. Mencerabut nash dari kondisi dan interaksi yang melingkarinya akan menyebabkan nash kehilangan kemungkinan untuk dipahami secara sempurna.
Karena bagaimanapun salah satu funsi naskh adalah konsep step by step dalam pro­ses perubahan dalam berinteraksi dengan realitas. Maka perubahan yang terjadi bukan pada Dzat Allah tapi hukum yang berlaku pada saat itu. Karenanya proses perubahan ataupun menghapusan nash (naskh) sebagai alasan mengatakan al Qur’an bukan kitab yang abadi dan permanen sepanjang masa.
Sikap Ulama di depan Nasikh dan Mansukh ;
Sesunguhnya dinamika teks dalam ruang dan waktunya adalah dinamika yang hi­dup dalam kehidupan, sedangkan mengungkap makna yang tersirat dalam teks bukan be­rarti merubah makna yang muncul, justru sebagai medan untuk mencapai kebenaran. Be­gitu juga dalam menyikapi konsep naskh dan mansukh dalam al Qur’an, tidak jarang ada ulama yang membenarkan dan ada yang menolak. Masing masing punya alasan yang ma­suk akal dan bisa dipertanggungjawabkan. Yang jelas semuanya itu masih dalam kerangka Ijtihad mencari penafsiran yang benar. 
Ulama pertama yang menolak adanya naskh dan mansukh dalam al Qur’an adalah Abu Muslim Al Ashfahani10. Alasan Abu Muslim al Ashfahani menolak adanya naskh dan mansukh adalah bahwa hukum (syari’at) agama terdahulu yang telah habis masa berlakunya masih terkait dengan datangnya hukum hukum yang terdapat dalam syari’at Islam. Termasuk juga sebaliknya, hukum hukum Islam yang habis masa berlakunya terkait dengan munculnya hukum baru bertentangan dengan hukum Islam sebelumnya.
 Jadi disana tidak terjadi penghapusan dan pembatalan nash, masih ada keterkaitan diantara ajaran tersebut, maka yang terjadi adalah pengkhususan hukum hukum yang umum dan tidak ada pertentangan. Karena naskh cendrung memandang ada pertentangan nash dengan nash yang lain. Padahal Allah sendiri berkata “Dalam al Qur’an tidak ada yang bathil baik dari depan atupun dari belakangnya, yang diturunkan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Terpuji” (QS. 41;42). Artinya nash nash yang terdapat dalam Al Qur’an tidak ada yang bertentangan apalagi kebathilan, sebab kebathilan itu suatu yang mustahil bagi Allah.
Yang terjadi sebenarnya adalah spesifikasi hukum (takhshis) yang sebelumnya bersifat umum (âmm). Spesifikasi hukum ini muncul sesuai dengan konteks yang diper­lukan saat itu (takhsisul Amm)11. Pendapat ini kemudian diambil oleh Iman Fakhrur al Razi ditambah dengan dalil “Tidak seorangpun yang dapat merobah kalimat kalimat Nya, dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padanya” (QS. 18;27
Apalagi bila melihat turunnya ayat “Tidaklah Kami hapus (naskh) suatu ayat atau melupakannya, kecuali Kami datangkan yang lebih baik dari sejenisnya. Tidaklah engkau tahu bahwa sesungguhnya Allah kuasa atas segala sesuatu”. (QS. 2;106). Dimana saat itu orang orang Yahudi mengejek nabi termasuk ajarannya. Mereka bilang “Tidakkah kalian lihat, Muham­­mad memerintahkan suatu perkara kemudian melarangnya. Hari dia bilang ‘ya’ besok pagi bilang ‘tidak’”. Maka turunlah ayat diatas tadi.12
Imam Assayuti sendiri menjelaskan bahwa turunnya ayat ini untuk menghibur Nabi disaat menerima wahyu. Wahyu yang diterima malam hari kemudian lupa pada esok harinya. Belakangan penjelasn ini dibantah oleh Muhammad Abduh, “Mustahil, ini pernyataan bohong belaka, nama mungkin Nabi lupa, sementara beliau adalah seorang Rasul pembawa risalah Islam” tidak seperti dugaan orang kafir bahwa Nabi adalah gila. “Mereka berkata, “Hai orang yang diturunkah Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar benar gila”(QS. 15;7).
Muhammad Abduh sendiri mengatakan tidak adanya naskh dan mansukh dalam al Qur’an, seperti yang ia tulis kitabnya (Tafsir al Manar). Abduh mengatakan bahwa naskh dan mansukh adalah mu’jizat sebagai jawaban bagi orang Yahudi yang lebih mengutamakan mu’jizat materi seperti mu’jizat Nabi Musa dan Isa13.(....Kami ganti dengan yang lebih baik dari sejenisnya...”)
Fenomena kontradiktif ada nash nash al Qur’an di depan pandangan ulama mu­ta’akhirin adalah wajar, namun jika ternyata kemudian muncul pandapat yang mengatakan bahwa sebagian dalil bertentangan dengan yang lain, hal itu semata mata karena sem­pitnya pemahaman mujtahid dan lemahnya pengertahuan mereka, disamping kurang be­gitu mendalami persoalan yang dihadapi. Padahal yang terjadi adalah tertentangan secara dhahiri bukan haqiqi. 14
Yusuf Qardlawi sendiri mengatakan, bahwa naskh boleh saja terjadi bila ada dalil yang bertentangan tapi dalil berikutnya harus jelas dan qath’i dan dapat menenangkan hati.

Penyebab naskh sendiri adalah kontektualisasi dari petunjuk Allah terhadap pene­rapan syari’ah yang berlangsung secara bertahap.15
Sebagian besar ulama mengatakan bahwa konsep naskh ada dalam al Qur’an tidak bisa dibantah, sebagai bukti bahwa konsep itu mejadikan al Qur’an memperhatikan kon­disi ummat, baik dari segi mashlahat ataupun kebaikan pada saat itu. Terlebih lagi memberikan pembenaran bahwa al Qur’an tersusun secara bertahap (tadarruji
Hikmah Nasikh dan Mansukh
Hikmah adalah mutiara yang hilang dari kaum muslimin”, demikian juga dalam nasikh dan mansukh ada beberapa hikmah yang terkandung didalamnya. Karena bagai­manapun juga setiap ciptaan ataupun perubahan ada hikmah yang ingin disampaikan Allah. Diantara hikmah dapat ditangkap dari konsep diatas adalah;
1.         Bahwa manusia diciptakan dan diberi kebosanan terhadap sesuatu yang sifatnya kontiniu dan tidak ada perubahan (status quo). Untuk itu Allah selalu mengutus disetiap zaman dengan seorang pembaharu (mujaddid).
2.         Membuka kemulyaan Nabi Muhammad dan ajarannya, bahwa Islam meng­himpun tiga ajaran samawi, sekaligus mengganti ajaran yang tidak berlaku lagi pada zamannya.
3.         Memberikan kemaslahatan bagi ummatnya. Seperti dengan cara mengganti hukum yang terasa berat dengan hukum yang ringan, setidaknya memberikan pahala yang lebih besar.
4.         Memberikan kemudahan dalam mengaplikasikan hukum (disini berlaku rah­mat Allah Yang Maha Kuasa).
5.         Bahwa penghapusan beberapa hukum disaat turunnya al Qur’an adalah seba­gai pelajaran bah­wa setiap sesuatu yang besar selalu melalui proses panjang.
6.         Allah sebagaimana tertulis dalam al Qur’an, Dia tidak pilih kasih terhadap orang melakukan zina, baik laki laki atau­pun perempuan harus dihukum. Seperti yang diriwayatkan Umar bin Khattab “Laki laki tua ataupun perempuan tua jika mereka melakukan zina maka keduanya harus dirajam” tapi kemudian dinaskh lafadznya (naskh tilawah) tapi hukumnya tetap berlaku umum.


Khatimah
Barangkali itulah yang dapat penulis sampaikan dalam menyikapi naskh dan mansukh dalam al Qur’an. Tentunya tulisan ini masih banyak kekurangannya dan perlu pembenahan lagi. Tapi walaupun begitu, ini adalah sebuah usaha mencari hikmah yang terkandung dalam al Qur’an. Karena sesungguhnya yang terpenting dari itu adalah memahami al Qur’an secara benar agar mutiara yang masih terpendam bisa terungkap, sehingga kita dapat mengambil serta mengamalkannya dengan benar.  
Daftar Pustaka
1.         Abdul Muta’al Muhammad Jabiri “Naskh wal Mansukh baina Istbat dan Nafyu”. Maktabah Wahbah kairo 1987.
2.         Muhammad Abdul Adim Az Zarqoni “Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an” Darul Ihya’ Kairo.
3.         Musa Salim Lasiem “Al Lai’u fi Ulumil Qur’an” Darul Ta’rif Kairo 1968
4.         Jurnal Tazwirul Afkar Lakpesdam Edisi No. 9 Tahun 2000.
5.         Dr. Yusuf Qardlawi “Kaifa Nata’amalu Ma’al Qur’an” darul Syuruq Kairo Cetakan I. 1998.
6.         Dr. Mahami Munir Muhammad Thahir Syawwaf “Tahafut Dirasat Mu’asir fi Daula wal Mujtama’” Darul Syawwaf Jeddah KSA. 1995
7.         Ali Hasan Aridh “Fathul Mannan fi Nash Qur’an” Maktabah Kahoji Masr. Cetakan I. .
8.         Dr. Abdul Karim Zaidan “Al Wajiz fi Usulil Fiqih” Darul Salam Kairo.
Madinat Bu’ust, 29 Agustus 2000
1 Makalah ini dipresentasikan dalam diskusi Forum Studi Ilmu Ilmu Al Qur’an (FORDIAN), Wisma Nusantara, Kamis 30 Agustus 2001.
2 Al Qur’an Terjemah Departeman Agama Indonesia.3 al Qur’an, al Isra’ 105.
4 Ibnu Hisyam “Sirah Nabawiyah” Dar Qalam Kairo. Hal. 98
5 Dr. Mahami Munir Muhammad Thahir Syawwaf “Tahafut al Dirasat al Mu’ashir fi Daula wal Mujtama’ “
6 Muhammad Abdul Qadir Az Zarqoni “ Manahilul I’fan fi ulumil Qur’an” Darul Hayah Kairo, Hal. 176
7 Jurnal  Tazwirul Afkar Lakspesdam  Edisi No. 9 Tahun 2000
8 Al Qur’an terjemah Departemen Agama9 Ibid.10 Menurut ibnu Nadiem, Beliau adalah seorang ahli bahasa dan balaghah, disamping sebagai filosof yang pandai berdebat. Beliau menulis kitab tafsir “Jami’ul Ta’wil lil Hukmi Ta’wil” ber­da­sar­kan mazhab Mu’tazilah. 11 Musa Sahien Lasien “al La’iu fi ulumil Qur’an” Darul Ta’rif 1996 Hal. 208
12 Abdul Muta’al Muhammad Jabiri “Naskh wal Mansukh baina Istbat dan Nafyu”. Maktabah Wahbah Kairo 1987
13 Dr. Yusuf Qardhawi “Kaifa nata’amal ma’al Qur’an” Darus Syuruq Kairo 1999. Hal. 227
14 Dr. Abdul Karim Zaidan “Al Wajiz fi Ulumil Qur’an” Darus Salam Kairo Hal. 276 15 Dr. Yusuf Qardhawi “Kaifa nata’amal ma’al Qur’an” Darus Syuruq Kairo 1999. Hal. 285
p

 
Design by [ Muhammad Taba ]