SEJARAH SALAFI WAHABI
PENDAHULUAN
Akhir-akhir
ini marak perkembangan gerakan “keagamaan” yang disebut sebagai gerakan Salafi.
Sering mereka mengklaim bahwa mereka hadir bermaksud menghidupkan kembali
ajaran ulama salaf untuk menyelamatkan umat dari amukan dan badai fitnah yang
melanda dunia Islam hari ini. Acapkali gerakan ini menegaskan bahwa kelompok
yang selain mereka tidak ada jaminan memberikan alternatif (baca: keselamatan).Tidak
jarang juga mereka mengklaim bahwa golongan yang selamat yang dinubuatkan oleh
Nabi Saw adalah golongan mereka. Tentu saja, konsekuensi dari klaim ini adalah
menafikan kelompok yang lain. Artinya bahwa kelompok mereka yang benar
selainnya adalah sesat (itsbat asy-syai yunafi maa adahu).
Kalau kita mau berkaca pada sejarah, gerakan Salafi ini sebenarnya bukan
gerakan baru. Mereka bermetamorfosis dari gerakan pemurnian ajaran Islam Wahabi
yang dikerangka konsep pemikiranyna oleh Ibn Taimiyah yang kemudian dibesarkan
oleh muridnya Muhammad bin Abdulwahab, menjadi gerakan Salafi. Metamorfosis ini
jelas untuk memperkenalkan ajaran usang dengan pendekatan dan nama baru.
Pertanyaan yang mendasar yang harus diajukan di sini adalah apakah Salafi itu
identik dengan mazhab jumhur, Ahlusunnah? Kalau tidak identik, bagaimana
pandangan Ahlusunnah terhadap kelompok Salafi ini (Wahabi)? Bagaimanakah sikap
ulama Ahlsunnah terhadap kelompok ini, dan literatur-literatur tekstual apa
saja yang telah ditulis oleh para ulama ahli sunnah untuk menjawab pemikiran
Wahabi? Tulisan ringan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan asumtif di
atas. Kami persilahkan Anda untuk menyimak tulisan berikut ini yang merupakan
hasil wawancara jurnal Kalam Islami dengan Ayatullah Ja'far Subhani.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wahabi
Wahabi adalah sebuah aliran pemikiran yang
muncul pada awal abad ke-8 H. yang dicetuskan oleh Ahmad bin Taimiyah. Ia lahir
pada tahun 661 HQ, 5 tahun setelah kejatuhan pemerintahan khilafah Abbasiyah di
Baqdad. Pemikiran kontroversialnya yang ia lontarkan pertama kali pada tahun
698, pada masa mudanya dalam risalahnya yang bernama (Aqidah
hamwiyah), sebagai jawaban atas pertanyaan masyarakat Hamat
(Suriah) dalam menafsirkan ayat (Ar-rahman ala al-Arsy istawaa) artinya:
“Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy” dimana ia mengatakan
bahwa; Allah Swt bersemayam di atas kursi di langit dan bersandar padanya.
Risalah
tersebut dicetak dan disebarkan di Damaskus dan sekitarnya, yang menyebabkan
para ulama Ahlusunnahdengan suara bulat melakukan kritikan dan kecaman terhadap
pemikirannya, akan tetapi dengan berlalunya waktu, Ibn Taimiyah dengan
pemikiran kontroversialnya malah semakin berani. Dengan alasan itulah, pada
akhirnya di tahun 705 pengadilan menjatuhkan hukuman pengasingan ke Mesir.
Kemudian pada tahun 712 Ia kembali lagi ke Syam. Di Syam Ibn Taimiyah kembali
bergerilya melakukan penyebaran paham-paham kontroversial. Akhirnya pada tahun
721 dia dimasukkan ke dalam penjara dan pada tahun 728 meninggal di dalamnya.
Penyikapan
dan tulisan-tulisan para ulama terkemuka Ahlusunnah pada waktu itu, merupakan
sebuah bukti dalam catatan sejarah yang tidak akan pernah terhapus atas
penolakan pemikiran Ahmad Ibn Taimiyah.
Ibn
Batutah misalnya; yang terkenal sebagai seorang pengelana dalam catatan
perjalanannya, atau masyhur dengan “peninggalan Ibn Batutah” menulis : Ketika
saya di Damaskus, saya melihat Ibn Taimiyah berceramah dalam berbagai bidang
ilmu pengetahuan, akan tetapi sangat disayangkan ceramahnya itu terkesan tidak
memiliki sisi rasionalitas, lanjut beliau: Ibn Taimiyah pada hari jumat di
sebuah mesjid sedang memberi nasehat dan bimbingan kepada hadirin, dan saya
turut hadir dalam acara tersebut, salah satu dari isi ceramah Ibn Taimiyah
adalah sebgai berikut: “Allah SWT dari atas Arsy turun ke langit pertama,
seperti saya turun dari mimbar, pernyataan tersebut dia lontarkan dan dengan
segera dia pun satu tangga turun dari mimbarnya,” tiba-tiba seorang Faqih
mazhab Maliki yang bernama Ibn Zuhra berdiri, dan menolak pandangan ibnu
taimiyyah. para jemaah pendukung Ibn Taimiyah berdiri, dan mereka memukul faqih
mazhab Maliki yang protes tersebut dan melemparinya dengan sepatu.
Itulah salah satu contoh aqidah Ibn Taimiyah yang
disaksikan secara langsung oleh Ibn batutah sebagai saksi yang netral dan tidak
berpihak, dia mendengar dengan telinganya secara langsung dan melihat dengan
mata kepalanya sendiri. Semoga Allah melindungi kita dari orang-orang
yang menjelaskan aqidah dan makrifat Islam berdasarkan pemikiran tersebut.
Tak syak
lagi bahwa Ibn Taimiyah dengan berbagai kelemahan yang dimiliki, tetap mmiliki
sisi positif walaupun sangat terbatas (Tak ada keburukan mutlak di dunia).
Dan yang disayangkan adalah para pengikutnya hanya melihat sisi positif Ibn
Taimiyah saja, dan menolak serta menutup-nutupi sisi kelemahan dan negatifnya
secara membabi buta. Bagaimanapun juga bagi para pemikir yang bebas dan merdeka
yang lebih mencintai kebenaran hakiki daripada Plato akan melihat arah positif
dan negatifnya dan mengkritisi pemikiran Ibnu Taimiyyah, orang-orang di bawah
ini dapat dikategorikan sebagai para pakar dan akademisi Syam dan Mesir di
zamannya, mereka mengatakan bahwa pemikiran Ibn Taimiyah telah merubah
ajaran-ajran para nabi dan wali Allah. Dan ntuk menolak dan mengkritisi pemikiran ibn Taimiyyah mereka menulis buku sebagai
berikut:
1.
Syeikh
Sofiyuddin Hindi Armawi (644-715Q)
2.
Syeikh
Syahabuddin bin Jahbal Kalabi Halabi (733)
3.
Qadhi
al-Qodhaat Kamaluddin Zamlakany (667-733)
4.
Syamsuddin
Muhammad bin Ahmad Dzahabi(748)
5.
Sadruddin
Marahhil ( wafat 750)
6.
Ali bin
Abd al Ka’fi Subki ( 756)
7.
Muhammad
bin Syakir Kutby (764)
8.
Abu
Muhammad Abdullah bin As’ad Yaafi’i (698-768)
9.
Abu
Bakar Hasni Dimasyqy (829)
10. Shahabuddin Ahmad bin Hajar ‘Asqalany (852)
11. Jamaluddin Yusuf bin Taqari Ataabaqi (812-874)
12. Shahabuddin bin Hajar Ha’itami (973)
13. Mulla Ali Qari Hanafi (1016)
14. Abul Ais Ahmad bin Muhammad Maknasi terkenal
dengan Abul Qadhi’ (960-1025)
15. Yusuf bin Ismail bin Yusuf Nabhani(1265-1350)
16. Syeikh Muhammad Kausari Misry (1371)
17. Syeikh Salamah Qadha’i Azami (1379)
18. Syeikh Muhammad Abu Zahrah (1316-1396)
Sebagian
dari mereka menulis buku khusus untuk mengkritik pemikiran Ibn Taimiyah.
Seperti Taqiyuddin Subki dalam kritiknya terhadap Ibn Taimiyah menulis dua buah
kamib yang berjudul Syifau al siqomi fi ziarati khoirul anami
dan Ad-Durrot
al madiati fii radi ala Ibni taimiyah).
Kritikan
yang terus menerus yang dilakukan oleh para cendekiawan muslim sunni terhadap
Ibn Taimiyah menyebabkan doktrin-doktrin pemikirannya terkubur, dan dengan berlalunya
zaman ajarannya perlahan-lahan terlupakan, aliran pemikiran ibn taimiyyah tidak
ada yang tersisa kecuali dalam buku-buku yang ditulis oleh muridnya yang
bernama Ibn Qayyum Jauzi (691-751), bahkan ibn Qayyum dalam kitab (Ar-Ruuh)
menentang pandangan gurunya sendiri.
B. Muhammad
bin Abdul Wahab Pelanjut Pemikiran Ibn Taimiyah di Abad 12
Muhammad
bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 di kota Uyinah bagian dari kota
Najad. Semasa belajar di Madinah para gurunya merasa khawatir akan masa depan
muridnya itu, karena terkadang pernyataan-pernyataan ekstrim dan keliru terucap
dari lisannya, sampai-sampai mereka berkata, :“ jika Muhammad bin Abdul Wahab
pergi bertabliqh, pasti ia akan menyesatkan sebagian masyarakat.”
Selagi ayahnya masih hidup, Muhammad bin abdul Wahab
adalah tipe seorang yang pendiam, tetapi setelah wafat ayahnya pada tahun 1153,
tirai yang menghalangi keyakinannya terkuak.
Dua aspek yang membantu penyebaran dakwah Muhammad bin
Abdul Wahab ditengah-tengah masyarakat arab Baduy Najad yaitu:
1.Mendukung
sistem politik keluarga Su’ud
2.Menjauhkan
masyarakat Najad dari peradaban, ilmu pengetahuan dan keotentikan ajaran Islam.
Pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahab dengan slogannya pemurnian tauhid dan perlawanan
kepada syirik secara pelan-pelan mengalami perkembangan bahkan berhasil menarik
perhatian orang yang jauh dari najad seperti Amir Muhammad bin Ismail San’ani
(1099-1186) penulis buku “Subulussalam” dalam syarahnya (Bulughul
murom) yang menerima dan mengikuti ajarannya, dan dalam sebuah qasidahnya
berbunyi sebagai berikut:
Salam
alaa najadi wa man halli fii najdi
Wa in
kaana taslimi alal abdi laa yuzdii
(Salam
bagi Najad dan siapa saja yang ada disana yang memiliki tempat,
Walau
tak seberapa salam saya dari jarak jauh memberi kebaikan)
Akan
tetapi ketika dia menyadari pembunuhan, perbuatan keji dan penyerangan terhadap
kaum muslimin dilakukan oleh para pengikut Abdul Wahab yang diprakarsai oleh
Muhammad bin Abdul Wahab sendiri. Penyesalan itu dia lontarkan kembali dalam
alunan qasidahnya, berikut bunyinya:
Raja’tu
anil qauli allazi qultu fi najdi
Wa qod
shahha anhu. Khulafulladzi indi
Dalam
perkataan lalu tentang lelaki itu (Muhammad Ibn Abdul Wahhab) saya tarik
kembali, karena kesalahan sesuatu yang berkenaan dengan Ia telah diketahui dan sudah
jelas bagi saya.
Setelah
berkembangnya pemikiran Wahabi, orang pertama yang menolak terhadap paham
wahabisme itu adalah saudaranya sendiri, yakni Sulaiman bin Abdul Wahab dalam
buku (As-Sowaa’iqul
illahiyyah). Setelah beliau, banyak para ulama dan tokoh-tokoh
pemuka Ahlusunnahlainnya melontarkan kritikan terhadap pahamnya itu. Barangkali
lebih dari 100 judul buku yang telah ditulis untuk menentang pemikiran abdul
wahab tersebut, di antaranya:
1.
Abdullah bin Lathif
Sya’fii penulis (Tajrid Syaiful al-jihad lil Mudda’i al–Ijtihad)
2.
Afifuddin
Abdullah bin Dawud Hanbali penulis (As-sawa’iq wa al-Ruduud)
3.
Muhammad
bin Abdurrahman bin Afalik Hanbali penulis (Tahkamu al-Muqalladin biman ad’i Tajdidi
ad-Diin)
4.
Ahmad bin Ali bin Luqbaani
Basri penulis risalah kritik atas keyakinan anaknya Abdul wahab.
5.
Syeikh Atho’ Allah Makki,
penulis (Al-Aarimul
al-Hindi fi Unuqil Najdi)
Para cendikiawan Ahlusunnahinilah yang telah menuliskan
buku-buku dalam mengkritik dan menolak pemikiran Abdul wahab, dan dan selain
mereka masih banyak yang menulis buku dann untuk selengkapnya silahkan anda
merujuk buku Buhusul fi Milal wa Nihal ( juz 4,
halaman 355-359).
Di kalangan syiah, yang pertama kali yang mengkritik
pemikiran wahabi adalah faqih dan marja masyhur di dunia syiah; Almarhum
ayyatulah Syeikh Ja’far Kasyif al-Qittho (1226), yang berjudul Minhajjul
Rissyadi liman araadas-Sadad, beliau dengan bukunya tersebut telah
menyingkap hakikat kebenaran, dan beliau mengirim buku tersebut ke Amir Sa’ud
bin Abdul Aziz (pemimpin ta’ashub wahabi).
Cucu beliau, Almarhum Ayatullah Syeikh Muhammad Husein
Ali Khasyif al Qitto, juga menulis sebuah buku yang berjudul ‘’Al-Aayat
al-Bayyinat fi Qam’il Bidai wa Dzolalat) dengan pendekatan logika
(akal) dan naql (wahyu), sebagai upaya kritikan dan perlawanan atas paham
wahabi yang telah merusak dan menghancurkan makam suci para imam Ahlubait as di
Madinah pada tahun 1344 HQ.
Sebuah buku yang paling masyhur dari ulama Syiah dalam
mengkritik wahabi dengan pendekatan yang logis, buku berjudul ‘’Kasyful
irtiyob an itba’ Muhammad bin Abdul Wahab), yang ditulis oleh
Allamah Ayyatullah Sayyid Muhsin Amuli, buku ini, sangat bagus ditelaah dan
akan membuka wacana pemikiran terutama bagi para peneliti.
C. Pembaharuan
Pemikiran dalam Aliran Wahabi
Paham
wahabi dengan pondsai pemikiran Salafi menentang seluruh bentuk perubahan dalam
kehidupan umat manusia. Ketika Abdul Aziz bin Abdurrahman pada tahun 1344 Q
menjadi penguasa dua haram yang suci (mekkah al mukarramah dan madinah al
munawwarah), terpaksa harus membangung dan mengatur system pemerintahannya
sesuai dengan model pemerintahan pada umumnya ketika itu dan merubah pola
kehidupan wahabi yang sesuai dengan kebiasaan arab Baduy-Najad. Dan ia
menyetujui mengimpor produk teknologi modern ketika itu seperti telegraf,
telephon, sepeda, mobil dan lain-lain. Dan sikapnya ini membakar api kemarahan
para pengikutnya yang muta’shib, menyebabkan terjadinya kejadian tragedi
berdarah yang terkenal dalam sejarah sebagai peristiwa “berdarah
Akhwan”.
Ahmad
Amin, penulis asal Mesir, ketika membahas tentang kelompok Wahabi, mengatakan
bahwa pemikiran wahabi sekarang yang berkembang ini pada hakikatnya 100 persen
bertolak belakang dengan pemikiran wahabi di masa lalu. Ahmad Amin menulis: “Wahabi
menolak peradaban baru dan tuntutan peradaban baru dan modern, mayoritas di
antara mereka meyakini bahwa hanya Negaranyalah sebagai negara islam sementara
Negara-negara lain bukan Negara islam karena negara-negara tersebut telah
menciptakan bid’ah bahkan menyebarluaskannya dan wajib bagi mereka memerangi
Negara tersebut.
Semasa
Ibn Sa’ud berkuasa, ia menghadapi dua kekuatan besar dan tidak jalan lain
kecuali harus memilih salah satunya yaitu pertama, pemuka-pemuka agama yang
tinggal di Najad memiliki akar pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang menolak
dengan keras segala bentuk perubahan dan peradaban baru. Kedua;
arus peradaban baru yang dalam system pemerintahn sangat membutuhakn alat
tekhnoligi modern tersebut.
Pemerintahan,
mengambil jalan tengah dari kedua kekuatan tersebut dengan cara mengakui
Negara-negara islam yang lain sebagai negar Islam dan juga di samping
menggiatkan pengajaran agama mereka juga memberikan pengajaran peradaban modern
dan mengatur sistem pemerintahannya berdasarkan sistem pemerintahan modern.
Untungnya para pemimpin Negara Saudi telah lelah melayani cara berpikir dan
aturan-aturan kering dan kaku pemikiran wahabi yang menjauhkan kaum muslimin
dari sunnah dan warisan sejarah yang diyakini seluruh kaum muslimin dan
menghancurkan tampat-tempat suci mereka juga menafikan seluruh bentuk penemuan
baru dan menganggapnya sebagai bidah. Dan dengan memperhatikan serangkaian
peristiwa yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi (seperti bertambahnya tekanan
dan ancaman Amerika dan Israel terhadap Negara-negara Islam dan Negara-negara
Arab setiap hari dan kehadiran dan peran aktif pemerintahan Republik Islam Iran
dalam hidup berdampingan dan damai dengan Negara-negara tetangganya serta
memimpin perlawanan terhadap hegemoni yahudi). Hal tersebut di atas menyebabkan
secara perlahan-perlahan pandangan negara Arab Saudi menjadi netral dan stabil
terhadap negara Republik Islam Iran bahkan lebih dari itu mereka meninjau
kembali ajaran-ajaran kering wahabi serta pengkafiran kaum muslimin. tidak ada
yang lebih indah yang dilakukan oleh Negara yang menjadi tuan rumah umat islam
pada perhelatan akbar ibadah haji setiap tahun, kecuali menjadi negara netral
dan meninjau kembali pandangan mereka selama ini.
A.Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kami ambil suatu kesimpulan
bahwa aliran wahabiyah beranggapan bahwa alirannya dapat memberikan jaminan
keselamatan bagi kelompoknya dan mengklaim bahwa penganut Nabi Muhammad saw
yang selamat adalah golongannya tentu saja dari klaiman tersebut menafi’kan
golongan yang lain.
Hal
ini bertentangan dengan ajaran islam yang notabene aliran wahabiyah banyak yang
menyimpang dari syari’at islam sebagaimana yang sudah kita ketahui